Sebagai orang yang beriman, kita kena ingat matlamat hidup kita yang sebenar. Kita hidup untuk dapat status atau darjat terbaik di akhirat dan bukan inginkan status atau darjat pada pandangan kacamata manusia di dunia sahaja tetapi kita mahukan keredhaan Allah. Oleh itu, matlamat kita biar jelas. Kita perlu menilai diri kita, adakah kita benar-benar sedang mendokong perjuangan Rasulullah atau sedang menentang perjuangan Rasulullah. Pilihan kita biarlah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mana-mana kaum atau puak atau golongan manusia yang jelas bertentangan dengan Islam hendaklah kita tolak, itulah tandanya kita cinta kepada Allah dan kasih kepada Rasulullah. Cuba kita fikir-fikirkan....Adakah dengan menganjurkan konsert masih tidak boleh dianggap maksiat kepada Allah, adakah tidak melaksanakan hukum Allah masih tidak boleh dilabelkan sebagai maksiat kepada Allah. Dan Adakah menghalang orang Islam yang berilmu dengan ilmu Allah berceramah, tazkirah atau berucap di dalam rumah Allah tidak menjadi kesalahan terhadap Allah! Alangkah butanya kita semua...."Ya Allah bukakanlah hati dan mata kami."
Rasulullah Saw besabda,
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Maka barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan tangannya), hendaklah ia mengubah dengan lisannya, dan barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan lisannya), hendaklah ia mengubah dengan hatinya, tetapi yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (HR Muslim).
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa mengubah kemungkaran merupakan kewajiban setiap Muslim. Sesuai dengan urutannya, setiap Muslim hendaknya berupaya semaksimal mungkin untuk menghentikan kemungkaran dengan tangannya. Bila tidak mampu dengan tangan, maka dengan lisannya. Bila tidak mampu juga, maka cukuplah hati kita mengingkari dan menolaknya, bukan justru mendukungnya.
Namun, kebanyakan umat Islam saat ini kurang peduli dengan kemungkaran yang merebak di masyarakatnya. Atau ia langsung memilih alternatif ketiga, yaitu mengubah kemungkaran dengan hatinya, padahal ia belum mencoba mengubah dengan tangannya atau dengan lisannya.
Dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar, ma’ruf adalah maa ‘arofahu al-aqlu wasy-syarru’ (sesuatu dianggap ma’ruf bila seusai dengan ajaran Islam dan akal), sehingga ukuran kebaikan itu tidak terletak pada subyektifitas perorangan. Kita sering mendengar sesuatu baik, akan tetapi tidak jelas baik menurut siapa. Baik dalam mustholahul Islami adalah baik menurut Allah dan baik menurut akal. Sedangkan al-munkar adalah maa ankaro ‘alaihi aqlu wasy-syar’ (sesuatu yang diingkari oleh akal dan Islam). Jadi amar ma’ruf nahi munkar itu dua istilah terminologi dalam Islam, sehingga cara memahaminya harus dikembalikan kepada Islam itu sendiri.
No comments:
Post a Comment